Welcome in My Blog

Explore the world with Knowledge

Rabu, 29 April 2009

Kurikulum Pendidikan Berbasis Keluarga Dan Sekolah Vs Tujuan Pendidikan Kurikulum Pendidikan Berbasis Keluarga Dan Sekolah Vs Tujuan Pendidikan

Kurikulum Pendidikan Berbasis Keluarga Dan Sekolah Vs
Tujuan Pendidikan

Pendidikan merupakan pilar tegaknya bangsa; Melalui pendidikanlah bangsa akan tegak mampu menjaga martabat. Pendidikan merupakan suatu proses yang disengaja, yang merupakan suatu upaya yang dilakukan oleh orang dewasa untuk membantu anak atau orang yang belum dewasa dalam suatu lingkungan. Sedangkan Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Pendidikan terdiri dari tiga macam, yaitu pendidikan formal, pendidikan informal dan pendidikan non formal. Pendidikan formal adalah pendidikan yang diselenggarakan menurut jenjang umum, yang disetujui oleh pemerintah. Pendidikan nonformal adalah pendidikan seperti pesantren. Sedangkan pendidikan informal adalah pendidikan yang diselenggarakan dalam arena keluarga. Jika dianalisia dengan detail, ada enam unsur yang terlibat dalam proses pendidikan yaitu: tujuan pendidikan, pendidik, anak didik, isi pendididikan , alat pendididkan dan lingkungan pendidikan. Keenam unsur tersebut masing-masing memiliki peranan yang amat menentukan dan oleh karenanya dalam merumuskan, mengembangkan dan menentukan setiap unsur harus dilakukan melalui hasil berpikir yang mendalam, logis, sistematis dan menyeluruh. Agar pendidikan di Indonesia terarah dan pasti maka adan tujuan pendidikan, visi dan misi pendidikan nasional.
Tujuan pendidikan nasional di Indonesia tentu saja bersumber pada pandangan hidup dan cara hidup manusia, yakni pancasila. Hal ini berarti bahwa pendidikan di Indonesia harus membawa peserta didik menjadi manusia yang berpancasila. Menurut UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 2 dan 3, disebutkan “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Adapun Pendidikan nasional mempunyai visi terwujudnya system pendidikan sebagai pranata social yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga Negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Visi hanyalah visi dan tidak sempurna tanpa adanya suatu misi. Ya , karena misi merupakan penjabaran dari visi yang lebih detail. Untuk mewujudkan visi pendidikan nasional itu, maka disususn sebuah misi pendididkan nasional yaitu:
1. mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia;
2. membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar;
3. meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral;
4. meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional dan global; dan
5. memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan RI.
Ada beberapa problem mengenai mutu pendidikan kita seperti yang diungkapkan DR. Arief Rahman dalam Mukhlishah, 2002 adalah:
a) pembiasaaan atau penyimpangan arah pendidikan dari tujuan pokoknya ,
b) malproses dan penyempitan simplikatif lingkup proses pendidikan menjadi sebataspengajaran,
c) pergeseran fokus pengukuran hasil pembelajaran yang lebih diarahkan pada aspek-aspek intelektual atau derajat kecerdasan nalar.
Sedangkan menurut Surya, M., 2002 salah satu problematika pendidikan di Indonesia adalah keterbatasan anggaran dan sarana pendidikan, sehingga kinerja pendidikan tidak berjalan dengan optimal. Persoalan tersebut menjadi lebih komplek jika kita kaitkan dengan penumpukan lulusan karena tidak terserap oleh masyarakat atau dunia kerja karena rendahnya kompetensi mereka. Mutu dan hasil pendidikan tidak memenuhui harapan dan kebutuhan masyarakat atau mempunyai daya saing yang rendah.
Indikator yang menunjukkkan rendahnya mutu hasil pendidikan kita adalah kepekaan sosial alumni sistem pendidikan terhadap persoalan masyarakat yang seharusnya menjadi konsen utama mereka, seperti: a) alumni kedokteran tidak menunjukkan kepekaan sosial terhadap maraknya wabah demam berdarah, sehingga lonjakan wabah tersebut di beberapa daerah harus dibarengi dengan ironi kekurangan tenaga medik dan paramedik, kemudian terjadilah kisah tragis Indah di Indramayu; b) Kesulitan untuk mencari guru mengaji di sebagian besar masjid-masjid kota pontianak dan Kab./Kota lainnya di Propinsi kalimantan Barat merupakan hal yang sulit kita pahami, mengingat STAIN Pontianak hingga saat ini telah meluluskan banyak alumni; c) sangat ironis terjadi bagi masyarakat Kalimantan Barat jika harus kekurangan tenaga dan ahli pertanian sehingga banyak areal pertanian terbengkalai atau salah urus, mengingat Untan dan IPB meluluskan ratusan sarjana pertanian setiap tahunnya.
Kisah-kisah ironis tersebut menggambarkan secara jelas bahwa kompetensi moral dan kompetensi sosial SDM keluaran sistem pendidikan kita sangat tidak compatible dengan tuntutan dunia kerja di dalam masyarakatnya. Sistem pendidikan tidak menjadikan masyarakat sebagai dasar prosesualnya dan tidak berakar pada sosial budaya yang ada. Pendidikan berjalan di luar alam sosial budaya masyarakatnya, sehingga segala yang ditanamkan (dilatensikan) melalui proses pendidikan merupakan hal-hal yang tidak bersentuhan dengan persoalan kehidupan nyata yang dihadapi masyarakat tersebut.
Implikasinya adalah terputus mata rantai budaya sosial antara satu generasi dengan generasi berikutnya. Generasi yang lebih muda menjadi tidak mampu mewarisi dan mengembangkan bangunan budaya sosial yang dikonstruksi oleh generasi pendahulunya, bahkan tidak mampu mengapresiasi dan seringkali berperilaku yang cenderung berakibat mengenyahkannya. Generasi seperti ini cenderung hanya mampu melihat kekurangan-kekurangan pendahulunya, tanpa menawarkan jalan keluar dan penyelesaiannya.
Kisah yang sangat biasa bagi orang pribumi yang kaya raya dari hasil usaha dan bisnisnya, anak mereka menghancurkan perusahaan dan menghabiskan kekayaan untuk berfoya-foya. Hal seperti ini tidak terjadi pada tradisi etnis tionghoa, dimana yang kaya akan menjadi lebih kaya karena putra-putrinya dipersiapkan untuk menjadi pewaris yang mampu mengembangkan bisnis yang dirintis oleh kedua orang tuanya. Misalnya dengan membiasakan anaknya magang di setiap outlet orang tua dan memperoleh perlakuan seperti layaknya pegawai, dengan demikian mereka mempunyai akselerasi belajar yang jauh lebih tinggi karena segala pelajaran yang diperoleh di sekolah memperoleh penguatan melalui aktivitas praktis yang dijalaninya.
Sementara itu kita juga tengah menghadapi era globalisasi yang ditandai dengan disepakatinya kawasan perdagangan bebas. Sejak 1 Januari 2003 secara Internasional dimulai AFTA (Asean Free Trade Area) dan AFLA (Asean Free Labour Area). Akibatnya terjadi perubahan pada berbagai bidang kehidupan, baik politik, sosial, budaya, pertahanan keamanan, demografi, Sumber Daya Alam, dan geografi yang akan berpengaruh pada skala global, regional dan nasional. Secara global dapat dilihat dengan adanya terorisme, runtuhnya tembok Berlin, narkoba. Secara regional dapat dilihat dengan maraknya narkoba, terorisme, TKI, sipida ligitan. Secara Nasional dapat kita lihat dengan banyaknya pengangguran, kemiskinan, narkoba, pariwisata, dan demokrasi.
Dengan demikian pendidikan harus secara akif berperan mengatasi dampak negatif dari era globalisasi dan mempersiapkan Sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang mampu bersaing dengan SDM dari negara lain. Jika saja dalam proses pelaksanaan pendidikan nasional salah, itu merupakan bukan salah biasa. Karena konsep yang tertanam salah ketika melekat dalam diri seseorang maka akan membuat salah terhadap hal yang lain. Oleh Karena itu diperlukan suatu konsep kurikulum yang sesuai agar mutu pendidikan nasional akan tercapai dengan baik. Sebagai acuan dan pedoman serta rancangan pendidikan mempunyai kedudukan yang strategis dalam seluruh aspek kegiatan pendidikan. Mengingat pentingnya peranan kurikulum dalam dunia pendidikan dan dalam perkembangan kehidupan manusia, maka dalam penyususnan kurikulum tidak bisa tanpa menggunakan landasan yang kokoh. Dengan demikian dalam mengembangkan kurikulum, terlebih dahulu harus diidentifikasi dan dikaji secara selektifakurat, mendalam dan menyeluruh landasan apa saja yang harus dijadikan pijakan dalam merancang, mengembangkan dan mengimplikasikan kurikulum.
Kemudian, bagaimana hubungan antar kurikulum berbasis dan kurikulum berbasis sekolah dengan tujuan pendidikan?
Sekolah dianggap sebagai tempat segala ilmu pengetahuan dan diajarkan kepada anak didik. Cara pandang ini sangat keliru mengingat sistem pendidikan juga harus dikembangkan di keluarga. Sekolah hanyalah sebagai instrumen untuk memperluas cakupan dan memperdalam intensitas penanaman cita-cita sosial budaya yang tidak mungkin lagi dikembangkan melalui mekanisme keluarga (Mukhlishah, 2002).
Memulai kembali menata pendidikan dengan mempertahankan fungsi keluarga dan masyarakat sebagai basis pendidikan di sekolah bukan lagi ide untuk masa depan tetapi menjadi tuntutan yang sangat mendesak. Upaya ini akan menjadi cara untuk mengembalikan sistem pendidikan kita kepada hakekat pendidikan yang sesungguhnya. Pendidikan yang hakiki adalah suatu langkah prosedural yang bertujuan untuk melatenkan kemampuan sosial budaya berupa program-program kolektif alam pikir, alam rasa, dan tradisi tindak manusia ke dalam pribadi dan kelompok manusia muda agar mereka siap menghadapi segala kemungkinan yang timbul di masa datang. Secara umum orang tua menginginkan pendidikan yang lengkap untuk anak-anak mereka. Mereka menginginkan generasi mudanya dapat bertahan hidup dan berkembang menjadi warga negara yang berbudaya dan berpendidikan serta memiliki kemampuan untuk berperan secara penuh dalam kehidupan masyarakat. Hal ini sesuai dengan pendapat Fiske, 1993 bahwa orang tua adalah pelanggan utama sekolah yang mempunyai tujuan pokok agar anak-anak mereka memperoleh pendidikan yang bermutu.
Dengan demikian, dengan adanya kurikulum berbasis sekolah dan keluarga, menurut penulis akan lebih efektif dalam mencapai tujuan pendidikan. Di sekolah peserta didik akan dididik secara umum dan lebih berkembang. Dan ketika did rumah atau keluarga mengapa akan lebih efektif. Hal ini karena lingkungan keluarga adalah lingkungan yang paling dekat dengan suatu individu atau peserta didik.

Tasikmalaya, April 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar